“Kak Harsa, ini udah pas belum buat judul berita? Tadi udah bikin beberapa judul, tapi menurutku yang ini lebih cocok, kalau menurut kakak gimana?” tanya gadis bermata kucing pada seniornya yang juga tengah sibuk dengan layar laptopnya. “Udah cocok sih ini Ci, daripada judul yang lain, ini lebih catchy,” ujar Harsa setelah menilik tajuk berita yang disebutkan oleh Zecy.
Ditengah kesibukan sekre, yang didominasi oleh divisi redaksi, tiga pimpinan divisi lainnya — Revardha, Mahesa, dan Fabio — dengan rusuh masuk ke dalam sekre. Tentu saja, hal tersebut mendapat teriakan dari Sonia, si bendahara galak pers Parastra.
“Bisa nggak sih masuknya biasa aja, nggak perlu lari-larian kaya anak kecil gitu. Itu juga, sepatu tuh di lepas, karpet nya baru balik dari binatu malah lu injek-injek,” ujar Sonia, yang kala itu mood-nya sudah sedikit jelek, ditambah dengan kelakuan tiga pemuda itu. “Hehehe, maaf mbak, buru-buru soalnya dikejar pak satpam tadi,” ucap Fabio tak lupa dengan cengiran di wajahnya.
Kemudian sekre kembali hening, hanya terdengar suara ketikan pada keyboard dan juga beberapa bisik kecil dari divisi redaksi yang tengah sibuk dengan berita mereka yang akan dipublikasi. Tak selang berapa lama, Sagara Cakratama, si Pimpinan Umum pers Parastra, beranjak dari kursi di depan komputernya ke luar ruang sekre yang didominasi dengan warna putih kebiruan itu. Sonia, yang pada saat itu sedang sibuk dengan ponselnya, memperhatikan kepergian Sagara. Dia tahu kemana pemuda itu pergi, apalagi dengan bagaimana raut wajah pemuda itu yang terlihat suram dan penuh tekanan. Gadis itu pun juga beranjak dari duduknya, berniat mengikuti si pemuda.
Rooftop lantai tiga berada tepat diatas ruang sekre UKM Seni Universitas Trigatra. Tempat ini biasa digunakan oleh anggota pers atau mahasiswa lain merokok untuk sekedar menghilangkan penat, atau mungkin memenuhi kebutuhan mereka. Meskipun sering digunakan sebagai tempat menghisap batang yang didominasi dengan nikotin dan tar, tempat itu terbilang bersih.
Seperti saat ini, seorang pemuda tengah bersandar di pagar pembatas, tak lupa dengan sebatang rokok Marlboro diantara jepitan jarinya. Pemuda itu memandang jauh dimana pelataran kampus dan juga sebagian kota Yogyakarta yang sedang ramai kala itu bisa tertangkap oleh netra hitamnya.
“Bagi rokok sama korek lu, gua juga mau lah,” suara seorang gadis menghentikan si pemuda dari lamunannya. “Tumben, lagi ada masalah juga?” tanya pemuda itu sembari memberikan satu batang rokok beserta korek miliknya pada si gadis. “Iya, dikit sih, nggak sebanyak lu kayanya,” jawab si gadis.
Keheningan menyelimuti, namun mereka masing-masing seakan menikmati keheningan itu, menikmati betapa kacaunya hidup mereka. “Ayah, dia maksa adek gua buat masuk hukum,” ujar si pemuda, membuka percakapan setelah beberapa menit hanya ada kesunyian diantara mereka. “Tetep kaya gitu? Dulu lu yang dipaksa ke hukum, sekarang Salma?” tanya si gadis.
“Iya, dia bilang kalau Salma harus masuk hukum karena gua dulu nggak mau kesana. Sekarang gua jadi ngerasa bersalah ke adek gua, Son,” jawab si pemuda dipenuhi dengan rasa bersalah dalam suaranya. “Emang Salma maunya kemana, Gar?” “DKV, itu impian dia dari kecil, gua nggak bisa bayangin dia harus ngerelain impian dia gitu aja,” ucap Sagara.
“Lu nggak salah, Gar. Ayah lu yang salah, karena dia nyuruh kalian berdua buat masuk ke ranah yang nggak kalian mau cuma buat kepentingan ayah lu sendiri. Gua tau lu nggak pengen adek lu ngerasain gimana sedihnya kalau nggak punya pilihan,” tutur Sonia, mengingat fakta bahwa keinginannya untuk masuk ke Manajemen Bisnis dulu sempat ditentang oleh kedua orang tuanya.
“Terus gua harus gimana?” tanya si pemuda, kali ini mengalihkan pandangannya pada gadis di sebelahnya. “Ngomong lagi sama ayah lu, nggak semua hal di dunia ini bisa berjalan sesuai keinginan dia, setiap orang punya keinginan dan pilihan masing-masing. Sama kaya ayah lu yang nggak bisa maksa keinginan lu, dia juga nggak bisa memaksakan hal yang sama ke Salma. Itu nggak adil buat kalian berdua,” ucap Sonia, yang juga balik menatap Sagara.
“Hahh, emang nggak salah gua cerita ini ke lu. Kaya biasa, selain marah-marah lu juga bisa ngasih nasihat yang baik,” ujar Sagara, tak lupa dengan sedikit cengiran di wajahnya. “Anjir, gua juga bisa bijak ya, nggak marah-marah aja,” sungut si gadis.
“Iya iya, terus lu sendiri gimana? Lu kesini bukan cuma mau dengerin keluh kesah gua kan?” giliran si pemuda yang balik bertanya pada Sonia. “Niat utamanya emang pengen denger cerita lu sih, sama mau sebat bentar, udah lama juga nggak ngisep,” jawaban dari si gadis mendapat tatapan penuh tanda tanya dari Sagara.
“Loh, gua pikir lu lagi ada masalah sama pacar lu,” ucap Sagara, kali ini pandangannya kembali ke area pelataran kampus sembari menghisap rokoknya yang tinggal separuh. “Cuma salah paham dikit sih, nggak segede itu buat gua ceritain,” jawab Sonia yang juga kembali menghisap batang rokok miliknya.
“Ohh, kalau gitu makasih udah dengerin cerita gua, dan nemenin gua nyebat,” ucap Sagara. “Lah, berarti gua bikin lu cepet mati dong?” canda Sonia. Si pemuda berbalik menatap si gadis sejenak sebelum membuka lisannya, “Haha, siapa bilang gua masih hidup? Hari dimana lu jadian sama pacar lu, dari yang pertama sampai saat ini aja, dunia gua seakan dipaksa berhenti.” Kesunyian memakan mereka, si pemuda menghisap rokok untuk terakhir kali sebelum memadamkannya pada pagar pembatas. Dan si gadis yang seakan lisannya terkunci, tak tahu lagi harus bagaimana menanggapi pernyataan tadi.