Dua gelas kopi latte.

Revardha.
5 min readFeb 20, 2023

--

“Huwahhh, akhirnya selesai juga wawancara nya. Sumpah sih, gua tadi takut parah, narasumber nya sangar banget,” ujar Viera setelah akhirnya menuntaskan sesi wawancara dengan salah satu mahasiswa Prodi Teknik Sipil. “Hahaha, padahal mah Bang Haris nggak galak, Ra. Badan sama tampang aja yang kaya satpam, aslinya mah easy going banget,” Haikal menyahuti perkataan Viera, tak lupa dengan gaya cengengesan khas miliknya.

Saat mereka tengah berjalan untuk kembali ke sekre mereka, Haikal tiba-tiba angkat bicara. “Lah anjir, gua lupa. Ra, mau nungguin gua bentar nggak? Lupa tadi mau mampir ke temen gua dulu, ngambil barang,” ujar pemuda berkulit eksotis itu. “Boleh aja sih, lama nggak? Terus ini gua nungguin dimana?” tanya si gadis. “Lu tungguin di bangku sini aja, nggak lama kok, cuma ngambil barang bentar abis itu balik kesini,” ucap si pemuda, yang kemudian dibalas anggukan oleh si gadis.

Sambil menunggu, gadis berambut panjang itu memainkan handphone miliknya. Tak berapa lama, fokusnya terganggu dengan kehadiran beberapa mahasiswa fakultas teknik yang tidak tahu mengapa mendatanginya. “Widih, baru kali ini ada anak teknik yang cantik dan bening gini. Nomor HP boleh dong, cantik,” ucap salah satu pemuda. “Sorry, gua nggak ada HP,” ketus si gadis, padahal tangannya tengah sibuk memainkan layar ponselnya.

“Cih, pelit banget sih. Kalau pelit pelit nanti cantik nya ilang loh,” ujar pemuda lain, yang saat ini dengan berani duduk di samping Viera. Pada saat itu, Viera hanya bisa diam dan berharap Haikal segera kembali dari tempat temannya.

“Woi, ngapain lu gangguin pacar gua?” bukan hanya Viera, para pemuda yang ada disana juga dikagetkan dengan suara barusan. Pasalnya, seorang lelaki tinggi besar datang menghampiri mereka, dan juga mengakui dirinya sebagai kekasih si gadis. “Eh, Jen, sorry, kita nggak tau kalau cewek ini pacar lu,” ucap pemuda yang tadinya duduk di sebelah si gadis, beranjak dari duduknya dan sebisa mungkin menjauh dari perempuan itu. Kemudian yang terjadi selanjutnya, kumpulan mahasiswa tadi pergi meninggalkan si gadis dengan pemuda yang mereka panggil dengan sebutan ‘Jen' barusan.

“Lu nggak apa-apa kan?” tanya si pemuda, memastikan bahwa gadis di depannya baik-baik saja. “Eh, iya, gua nggak apa-apa kok,” jawab si gadis. “Bagus kalau gitu, oh iya, tadi maaf juga tiba-tiba bilang kalau gua pacar lu, soalnya kalau nggak gitu anak anak tadi nggak bakalan pergi,” jelas si pemuda. “Ohh gitu, iya nggak apa-apa, makasih banget tadi bantuannya,” ujar si gadis.

“Oh iya, gua Jen — ” perkataan si pemuda di interupsi oleh suara yang keduanya sudah sangat familiar. “Viera, sorry banget agak lama, tadi diajak ngobrol dulu gua, lu nggak apa-apa kan?” tanya Haikal sambil terengah-engah karena dirinya habis berlarian. “Iya, nggak apa-apa kok,” jawab si gadis.

“Nggak apa-apa gimana, tadi aja digangguin sama anak teknik, lu gimana sih Kal, temen cewek malah ditinggal sendiri,” ucap si pemuda tinggi tadi sambil menoyor kepala Haikal. “Jir, lah lu kenapa ada disini Jen? Tapi yang bener? Lu nggak apa-apa kan, Ra? Duhh maaf banget ya,” sesal Haikal. “Nggak apa-apa kok Kal, beneran. Untung aja tadi ditolongin sama mas ini,” ucap Viera sembari menunjuk ke arah si pemuda, yang sampai sekarang belum ia ketahui siapa namanya.

“Wehh, makasih banget ya Jen, udah bantuin Viera. Nggak tau dah jadi apa gua nanti kalau misal dia kenapa kenapa,” ucap Haikal. “Oh iya Jen, ini temen gua dari pers mahasiswa, namanya Viera Jatayu, seangkatan sama kita dari Manajemen Bisnis. Viera, ini temen gua dari Teknik Sipil namanya Jen — ” lagi-lagi terpotong, namun kali ini sang empunya nama yang menginterupsi.

“Gua Jendra, Jendra Laksamana. Salam kenal, Viera.”

Suasana dalam sekre pers mahasiswa sore ini sedikit suram. Jika masih ingat, ada Syahnaz yang daritadi terlihat dalam mood yang buruk sehabis bertengkar hebat dengan kekasihnya. Sedari tadi ia hanya mengetik asal pada keyboard laptop miliknya. Entah kalimat acak apa yang tertulis disana.

“Heh, mau ngopi bareng nggak?” sebuah tawaran dari lelaki yang ada hadapannya membuyarkan si gadis dari lamunannya. “Hah? Tiba-tiba banget ngajak ngopi?” bukannya jawaban, si gadis memilih mengajukan pertanyaan lain. “Nggak apa-apa sih, gua lagi pengen nyobain kafe baru, kata Mbak Jenan sih disana recommended,” jawab si pemuda.

“Terus kenapa ngajak gua coba?” lagi, pertanyaan lain dari si gadis. “Nanya mulu, kalau gua ngajakin lu ya berarti gua mau nyobain kesana sama lu lah,” jawab si pemuda, sembari memukul pelan kepala si gadis. “Sakit, Vernon!” protes si gadis. Si pemuda hanya tertawa, kemudian beranjak dari duduknya.

“Ayo, gua hari ini bawa Bernie, jadi lu nggak akan kesusahan naik nya,” ucap Vernon, mengulurkan telapak tangannya untuk si gadis. Syahnaz meraih uluran tangan pemuda itu, kemudian berjalan keluar ruang sekre.

Tak lama keduanya pun tiba di parkiran dimana motor Vernon berada. “Tumben bawa Vespa, motor gede lu dimana?” tanya si gadis sembari memasang helm di kepalanya. “Lagi opname di bengkel, udah lama nggak di servis,” jawab si pemuda yang sudah duduk diatas motornya. Kemudian keduanya pun berlalu meninggalkan pelataran kampus, menuju ke sebuah kafe yang menurut Jenandita wajib setidaknya sekali untuk dikunjungi.

Sesampainya disana, mereka berdua memesan kopi latte. Sembari menunggu, Vernon menyalakan rokok miliknya, “gua sambil ngerokok ya,” katanya. “Iya, santai,” jawab si gadis. Setelah beberapa waktu menunggu sambil memotret isi kafe, akhirnya pesanan mereka datang. “Kafe nya bagus juga ternyata, instagram-able, cocok buat ngonten,” ucap si gadis yang dibalas anggukan oleh pemuda di seberang nya.

“Jadi, ada yang mau lu ceritain nggak?” tanya si pemuda, tanpa basa-basi. Si gadis awalnya hanya terdiam, menimbang-nimbang, haruskah ia ceritakan masalahnya.

“Gua capek, Vernon. Capek banget, mental sama fisik gua udah nggak sanggup,” ucap si gadis setelah cukup lama ia terdiam. “Gua tau kalau nggak akan baik buat kedepannya kalau gua terusin sama Juanda. Gua muak sama dia, tapi gua juga nggak bisa bohong kalau sisi lain diri gua masih pengen bareng sama dia,” ujarnya, mencoba meluapkan semua emosinya.

“Naz, gua yakin lu juga udah tau, Juanda bukan cowok baik-baik. You deserve someone better than him, someone who can treat you much better than him. Orang kaya dia, mau dikasih kesempatan berapa kali pun juga bakalan tetep balik kaya gitu,” tutur si pemuda. Si gadis lagi-lagi terdiam, dalam benaknya ia tahu bahwa Juanda — kekasihnya saat ini — bukanlah lelaki baik.

“Gua juga mau lepas dari dia, Vernon. Banyak hal dari dia yang buat gua takut, hal yang nggak pernah bisa gua ceritain ke orang lain, bahkan orang terdekat gua sekalipun. Tapi gua nggak tau, gimana caranya untuk benar-benar lepas dari dia,” keputusasaan terasa dari ucapan gadis itu.

How about you try to find another man, yang mungkin bisa bikin lu bahagia, nggak sakit terus kaya sekarang?” tanya si pemuda. “Hahaha, siapa, Vernon? Gua nggak mau jadiin orang lain pelampiasan. Karena itu berarti nggak ada bedanya gua sama Juanda, sama-sama jahat,” ujar si gadis.

Jeda lama diantara mereka, sebelum akhirnya si pemuda kembali angkat bicara, “gua, misalnya.”

Cr. Pinterest

--

--

Revardha.
Revardha.

Written by Revardha.

0 Followers

Safest place for my writing.

No responses yet